Senin, 21 Mei 2012

Sejarah

Al-Irsyad Al-Islamiyyah   

     Muhammadiyah Al-Irsyad dan Persatuan Islam merupakan tiga serangkai organisasi Islam pembaharu yg paling berpengaruh di Indonesia. Pada awal abad XX telah lahir sejumlah tokoh elit Muslim. Mereka memiliki semangat pembaharuan dalam pemikiran keagamaan. Semangat reformasi itu datang bersamaan dgn maraknya perkembangan ide-ide reformasi yg berkembang di Timur Tengah. Pada pertengahan abad XVIII di Jazirah Arab muncullah gerakan yg dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahhab . Gerakan ini merupakan tanggapan nyata dari pemikiran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya yg terkenal Ibn Qayyim Al-Jauziyah dua orang tokoh reformis Islam yg memberi ciri awal munculnya renesans dunia Islam utk kembali kepada kemurnian Al-Qur’an dan As-Sunnah.
     Pada awal pekembangannya Islam di Indonesia terutama pula Jawa yg juga pusat Kerajaan Hindu-Jawa mengalami tantangan yg sungguh berat. Di mana pada umumnya keadaan masyarakat sudah memiliki keyakinan yg mendarah daging dgn kebudayaan Hindu yg kental. Akan tetapi perkembangan agama Islam di Indonesia terutama di Jawa menjadi pesat diantaranya krn peran yg cerdik dan kemampuan berdakwah yg handal dari tokoh-tokohnya pada jaman yg terkenal dgn sebutan “Wali Sanga/Wali sembilan.” Tokoh Islam yg terkemuka pada jamannya itu berdakwah menyebarkan agama dgn contoh ketauladanan dan kemampuan spiritualnya yg tinggi serta mengikuti atau menyiasati keadaan tradisi dan kebudayaan setempat dgn mendahulukan pemahaman tata cara beribadah dan mengesampingkan pemahaman aqidah. Sehingga tidak terjadi pergolakan atau kegaduhan dgn tradisi masyarakat setempat. Hal ini mungkin menurut pertimbangan tokoh-tokoh Islam yg arif pada jamannya itu sebagai metode dakwah yg tepat dgn berpegang teguh kepada “bil hikmah wal mau’izhah hasanah.”Dan pada masanya nanti diharapkan akan datang para pendakwah dan mubaligh yg gigih mengajarkan pemahaman aqidah yg murni.
     Keadaan perkembangan agama Islam dgn wawasan aqidah yg kurang tersebut pada umumnya di kalangan masyarakat terus berjalan sampai kemudian muncul tokoh-tokoh muda reformis dgn menekankan kepada pemahaman aqidah yg murni bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dari sinilah kemudian perkembangan pemikiran Islam mulai tumbuh dan tidak dipungkiri merupakan hal yg mesti terjadi adl perang urat saraf pergolakan pemikiran antara pro pembaharu dgn pemikiran moderat gaya Wali Sembilan. Kelompok tersebut bermuara sampai sekarang pada kelompok-kelompok terbesar di Indonesia yaitu dari kalangan NU yg moderat dan kelompok elitis kalangan cendekiawan yaitu Muhammadiyah Al-Irsyad dan Persis yg pro pembaharu yg merupakan tiga serangkai yg tidak terpisahakan hingga saat ini. Walaupun sekarang terlihat pola-pola pemikiran NU cenderung terjadi perubahan dimana yg dahulunya hanya menganut satu mazhab yaitu Imam Syafii dgn ciri khas tradisi ke-Nu-annya sekarang sudah banyak pemikirannya yg lintas mazhab tetapi dikalangan bawah perbedaan di dua kelompok besar itu sangat kental. Sehingga kita dapat melihat warga NU jum’atan di masjid NU warga Muhammadiyah Jum’atan di masjid Muhammadiyah hanya krn persoalan masalah adzan dalam shalat Jum’at dimana utk warga Nahdliyin dgn menggunakan dua adzan sementara kalangan Muhamadiyah hanya satu adzan. Ini adl salah satu perbedaan furu’iyah yg memang mesti terjadi dan tidak mungkin menyatukan fisi hal-hal semacam ini. Sehingga mujtahid terkenal di abad ini Syaikh Yusuf Qardawi menyatakan bahwa merupakan hal yg bodoh dan mustahil menyatukan semua pendapat di dalam Islam dalam masalah furu’ krn tabiat agama Islam memang menghendaki adanya bergamai macam penafsiran atau perbedaan selain berbagai macam factor lainnya. 

SEJARAH BERDIRI DAN TOKOH-TOKOHNYA
      Al-Irsyad berdiri setelah berdirinya Jamiat Khair yaitu organisasi yg didirikan warga keturunan Arab di Jakarta yg hanya khusus bergerak dalam bidang pendidikan. Salah satu tokoh penting dan sangat berpengaruh adl Ahmad Soorkatty dari keturunan Sudan waktu itu termasuk wilayah Mesir.
Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu daerah Dunggulah Sudan. Ia sudah menghafal Al-Qur’an di usia mudanya berkat ketekunan dan kasih sayang ayahnya menggembleng anaknya yg juga merupakan ulama besar yg terkenal. Setelah ayahnya meninggal dunia ia melanjutkan belajarnya ke Al-Azhar Mesir. Sampai kemudian melanjutkan belajar di Makkah dan dgn thesisnya tentang Al-Qadha wal Qadar ia meraih gelar Al ‘Allamah dgn asuhan guru besar Syaikh Muhammad bin Yusuf Alkhayaath dan Syaikh Syu’aib bin Musa Almaghribi.
     Pengembaraannya ke Indonesia bermula dari permintaan Jami’at Khair di Indonesia utk mengajar. Melalui perantaraan Syaikh Muhammad bin Yusuf Al-Khayyath dan Syaikh Husain bin Muhammad Al-habsyi sampailah maksud Surkati utk memenuhi permintaan Jami’at Khair dgn membawa bekal keyakinan “mati di Jawa dgn berjihad lbh suci daripada mati di Makkah tanpa jihad.” Akan tetapi setelah beberapa lama terjadi ketidakharmonisan hubungan antara pihak Jami’at Khair dgn Surkati akhirnya Surkati keluar dan kemudian setelah berdiri dan berkembangnya pendidikan madrasah Al-Irsyad ia menjadi pengajar di madrasah Al-Irsyad. Keberadaan Surkati di Al-Irsyad meroketkan organisasi tersebut jauh meninggalkan Jami’at Khair. Di samping memang Jami’at Khair terdapat banyak kelemahan di dalam sosiokulturalnya di antaranya masih memandang tentang perbedaan status sosial.
     Kedatangan Surkati di pulau Jawa bulan Maret 1911 ternyata kemudian menjadi peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia yaitu sejarah pekembangan faham pembaharuan Islam di Indonesia terutama krn kegiatannya yg suka bergelut dalam bidang pendidikan ketimbang keorganisasian Al-Irsyad itu sendiri.
     Pada saat Ahmad Surkati mengujungi sahabatnya Awad Sungkar Al-Urmei di Solo tahun 1912 dalam perjalanannnya bertemu dgn tokoh pribumi yg sedang asyik membaca majalah Almanar dan mengaguminya krn kemampuannya membaca bahasa Arab. Di samping itu memang krn jalan pikirannya yg sama tentang pemahaman pemurnian aqidah sehingga keduanya menjadi akrab. Dalam pertemuan dan perkenalannya inilah terjadi tukar pikiran antara keduanya sampai pada kesimpulan yg mengandung tekad mereka berdua utk sama-sama mengembangkan pemikiran Muhammad Abduh di Indonesia.
     Pada waktunya di kemudian berkembang pesatlah organisasi pembaharu yg menjadi terkenal dan besar di Indonesia hingga saat ini yaitu Al-Irsyad Al-Islamiyah dan kemudian menyusul pada tahun 1912 berdiri Muhamadiyah oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Dan pada tahun 1923 berdiri pula organisasi yg sepaham yaitu Persatuan Islam di Bandung.
     Di dalam akte pendirian dan Anggaran Dasar Al-Irsyad yg disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda tercatat pengurus pertamanya adalah
- Salim bin Awad Balweel sebagai ketua. Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris. Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara. Saleh bin Obeid bin Abdat sebagai penasehat.
Setelah keluarnya beslit dari Gubernur Jenderal itu pada hari Selasa tanggal 19 Syawwal /31 Agustus 1915 telah diadakan Rapat Umum Anggota. Dalam rapat itu diputuskan susunan pengurus utk kepentingan intern
- Salim bin Awad Balweel sebagai ketua. Saleh bin Obeid bin Abdat sebagai wakil ketua. Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris. Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara.
Pengurus ini dilengkapi dgn 19 orang sebagai komisaris yg berkewajiban mengawasi jalannya perhimpunan dgn berbagai permasalahan yg dihadapinya yaitu
Ja’far bin Umar Balfas. Abdullah bin Ali Balfas. Abdullah bin Salmin bin Mah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar