Al-Irsyad Al-Islamiyyah
Muhammadiyah Al-Irsyad dan Persatuan Islam merupakan tiga serangkai
organisasi Islam pembaharu yg paling berpengaruh di Indonesia. Pada awal
abad XX telah lahir sejumlah tokoh elit Muslim. Mereka memiliki
semangat pembaharuan dalam pemikiran keagamaan. Semangat reformasi itu
datang bersamaan dgn maraknya perkembangan ide-ide reformasi yg
berkembang di Timur Tengah. Pada pertengahan abad XVIII di Jazirah Arab
muncullah gerakan yg dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahhab . Gerakan
ini merupakan tanggapan nyata dari pemikiran Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan muridnya yg terkenal Ibn Qayyim Al-Jauziyah dua orang tokoh
reformis Islam yg memberi ciri awal munculnya renesans dunia Islam utk
kembali kepada kemurnian Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pada awal
pekembangannya Islam di Indonesia terutama pula Jawa yg juga pusat
Kerajaan Hindu-Jawa mengalami tantangan yg sungguh berat. Di mana pada
umumnya keadaan masyarakat sudah memiliki keyakinan yg mendarah daging
dgn kebudayaan Hindu yg kental. Akan tetapi perkembangan agama Islam di
Indonesia terutama di Jawa menjadi pesat diantaranya krn peran yg cerdik
dan kemampuan berdakwah yg handal dari tokoh-tokohnya pada jaman yg
terkenal dgn sebutan “Wali Sanga/Wali sembilan.” Tokoh Islam yg
terkemuka pada jamannya itu berdakwah menyebarkan agama dgn contoh
ketauladanan dan kemampuan spiritualnya yg tinggi serta mengikuti atau
menyiasati keadaan tradisi dan kebudayaan setempat dgn mendahulukan
pemahaman tata cara beribadah dan mengesampingkan pemahaman aqidah.
Sehingga tidak terjadi pergolakan atau kegaduhan dgn tradisi masyarakat
setempat. Hal ini mungkin menurut pertimbangan tokoh-tokoh Islam yg arif
pada jamannya itu sebagai metode dakwah yg tepat dgn berpegang teguh
kepada “bil hikmah wal mau’izhah hasanah.”Dan pada masanya nanti diharapkan akan datang para pendakwah dan mubaligh yg gigih mengajarkan pemahaman aqidah yg murni.
Keadaan
perkembangan agama Islam dgn wawasan aqidah yg kurang tersebut pada
umumnya di kalangan masyarakat terus berjalan sampai kemudian muncul
tokoh-tokoh muda reformis dgn menekankan kepada pemahaman aqidah yg
murni bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dari sinilah kemudian
perkembangan pemikiran Islam mulai tumbuh dan tidak dipungkiri merupakan
hal yg mesti terjadi adl perang urat saraf pergolakan pemikiran antara
pro pembaharu dgn pemikiran moderat gaya Wali Sembilan. Kelompok
tersebut bermuara sampai sekarang pada kelompok-kelompok terbesar di
Indonesia yaitu dari kalangan NU yg moderat dan kelompok elitis kalangan
cendekiawan yaitu Muhammadiyah Al-Irsyad dan Persis yg pro pembaharu yg
merupakan tiga serangkai yg tidak terpisahakan hingga saat ini.
Walaupun sekarang terlihat pola-pola pemikiran NU cenderung terjadi
perubahan dimana yg dahulunya hanya menganut satu mazhab yaitu Imam
Syafii dgn ciri khas tradisi ke-Nu-annya sekarang sudah banyak
pemikirannya yg lintas mazhab tetapi dikalangan bawah perbedaan di dua
kelompok besar itu sangat kental. Sehingga kita dapat melihat warga NU
jum’atan di masjid NU warga Muhammadiyah Jum’atan di masjid Muhammadiyah
hanya krn persoalan masalah adzan dalam shalat Jum’at dimana utk warga
Nahdliyin dgn menggunakan dua adzan sementara kalangan Muhamadiyah hanya
satu adzan. Ini adl salah satu perbedaan furu’iyah yg memang mesti
terjadi dan tidak mungkin menyatukan fisi hal-hal semacam ini. Sehingga
mujtahid terkenal di abad ini Syaikh Yusuf Qardawi menyatakan bahwa
merupakan hal yg bodoh dan mustahil menyatukan semua pendapat di dalam
Islam dalam masalah furu’ krn tabiat agama Islam memang menghendaki
adanya bergamai macam penafsiran atau perbedaan selain berbagai macam
factor lainnya.
SEJARAH BERDIRI DAN TOKOH-TOKOHNYA
Al-Irsyad
berdiri setelah berdirinya Jamiat Khair yaitu organisasi yg didirikan
warga keturunan Arab di Jakarta yg hanya khusus bergerak dalam bidang
pendidikan. Salah satu tokoh penting dan sangat berpengaruh adl Ahmad
Soorkatty dari keturunan Sudan waktu itu termasuk wilayah Mesir.
Ahmad
Surkati dilahirkan di pulau Arqu daerah Dunggulah Sudan. Ia sudah
menghafal Al-Qur’an di usia mudanya berkat ketekunan dan kasih sayang
ayahnya menggembleng anaknya yg juga merupakan ulama besar yg terkenal.
Setelah ayahnya meninggal dunia ia melanjutkan belajarnya ke Al-Azhar
Mesir. Sampai kemudian melanjutkan belajar di Makkah dan dgn thesisnya
tentang Al-Qadha wal Qadar ia meraih gelar Al ‘Allamah dgn asuhan guru
besar Syaikh Muhammad bin Yusuf Alkhayaath dan Syaikh Syu’aib bin Musa
Almaghribi.
Pengembaraannya ke Indonesia bermula dari permintaan
Jami’at Khair di Indonesia utk mengajar. Melalui perantaraan Syaikh
Muhammad bin Yusuf Al-Khayyath dan Syaikh Husain bin Muhammad Al-habsyi
sampailah maksud Surkati utk memenuhi permintaan Jami’at Khair dgn
membawa bekal keyakinan “mati di Jawa dgn berjihad lbh suci daripada
mati di Makkah tanpa jihad.” Akan tetapi setelah beberapa lama terjadi
ketidakharmonisan hubungan antara pihak Jami’at Khair dgn Surkati
akhirnya Surkati keluar dan kemudian setelah berdiri dan berkembangnya
pendidikan madrasah Al-Irsyad ia menjadi pengajar di madrasah Al-Irsyad.
Keberadaan Surkati di Al-Irsyad meroketkan organisasi tersebut jauh
meninggalkan Jami’at Khair. Di samping memang Jami’at Khair terdapat
banyak kelemahan di dalam sosiokulturalnya di antaranya masih memandang
tentang perbedaan status sosial.
Kedatangan Surkati di pulau Jawa
bulan Maret 1911 ternyata kemudian menjadi peristiwa penting dalam
sejarah perkembangan Islam di Indonesia yaitu sejarah pekembangan faham
pembaharuan Islam di Indonesia terutama krn kegiatannya yg suka bergelut
dalam bidang pendidikan ketimbang keorganisasian Al-Irsyad itu sendiri.
Pada saat Ahmad Surkati mengujungi sahabatnya Awad Sungkar
Al-Urmei di Solo tahun 1912 dalam perjalanannnya bertemu dgn tokoh
pribumi yg sedang asyik membaca majalah Almanar dan mengaguminya krn
kemampuannya membaca bahasa Arab. Di samping itu memang krn jalan
pikirannya yg sama tentang pemahaman pemurnian aqidah sehingga keduanya
menjadi akrab. Dalam pertemuan dan perkenalannya inilah terjadi tukar
pikiran antara keduanya sampai pada kesimpulan yg mengandung tekad
mereka berdua utk sama-sama mengembangkan pemikiran Muhammad Abduh di
Indonesia.
Pada waktunya di kemudian berkembang pesatlah
organisasi pembaharu yg menjadi terkenal dan besar di Indonesia hingga
saat ini yaitu Al-Irsyad Al-Islamiyah dan kemudian menyusul pada tahun
1912 berdiri Muhamadiyah oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Dan pada tahun
1923 berdiri pula organisasi yg sepaham yaitu Persatuan Islam di
Bandung.
Di dalam akte pendirian dan Anggaran Dasar Al-Irsyad yg
disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda tercatat pengurus
pertamanya adalah
- Salim bin Awad Balweel sebagai ketua. Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris. Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara. Saleh bin Obeid bin Abdat sebagai penasehat.
Setelah
keluarnya beslit dari Gubernur Jenderal itu pada hari Selasa tanggal 19
Syawwal /31 Agustus 1915 telah diadakan Rapat Umum Anggota. Dalam rapat
itu diputuskan susunan pengurus utk kepentingan intern
- Salim bin Awad Balweel sebagai ketua. Saleh bin Obeid bin Abdat sebagai wakil ketua. Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris. Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara.
Pengurus
ini dilengkapi dgn 19 orang sebagai komisaris yg berkewajiban mengawasi
jalannya perhimpunan dgn berbagai permasalahan yg dihadapinya yaitu
Ja’far bin Umar Balfas. Abdullah bin Ali Balfas. Abdullah bin Salmin bin Mah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar